News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Suki Sama Deko Lewe, Hang Sama Nakeng Panggang (Sebuah Tafsiran Kreatif-Kontekstual)

Oleh: Sil Joni*


Suki Sama Deko Lewe, Hang Sama Nakeng Panggang (Sebuah Tafsiran Kreatif-Kontekstual)
Suki Sama Deko Lewe, Hang Sama Nakeng Panggang (Sebuah Tafsiran Kreatif-Kontekstual)




Tak semua yang lampau itu, sesuatu yang nir-makna. Zaman boleh berubah, tetapi sebagian 'nilai' yang tersembul pada masa lalu, tetap hidup dan relevan untuk konteks saat ini. Warisan masa lalu itu, diawetkan dalam rupa-rupa bentuk. Salah satunya adalah sastra lisan.


Sebelum tradisi tulis muncul dan berkembang pesat, semua peninggalan leluhur itu diabadikan dalam bentuk mitos, cerita, syair lagu, ukiran, dan pelbagai artefak yang lainnya. Kita perlu 'menambang' aneka mutiara makna itu melalui interpretasi terhadap cerita dan nyanyian rakyat.


Dalam tulisan ini, saya coba menafsir arti balik penggalan syair yang dinyanyikan sambil bermain oleh anak-anak di wilayah Hamente Boleng tempo dulu. Ungkapan (go'et) Manggarai dialek Boleng yang dijadikan judul tulisan ini coba diinterpretasi seturut konteks zaman sekarang. 


Sudah lama penulis tak mengucapkan dan menyanyikan ungkapan itu yang biasanya dilantunkan oleh para bocah di halaman kampung bila hari telah senja atau di kala musim purnama tiba. Dahulu, saat masih bocah ingusan, kami sering menggunakan syair ini untuk mempererat kekompakan dan pertemanan dalam sebuah kelompok permainan.


Kala itu, kami hanya mengucapkan dan mendaraskan syair itu tanpa mengetahui apa maksud atau maknanya. Intinya, penggalan lagu sederhana itu cukup memberikan penghiburan dan kepuasan bagi kami dalam menikmati sebuah kebersamaan dalam kelompok (peer group). Biasanya, anak-anak yang tergabung dalam kelompok permainan itu saling bergandengan tangan secara erat dan memperagakan bagaimana seharusnya sebuah kebersamaan dan kekompakkan itu diterapkan.


Artinya, anak-anak itu tidak hanya cerdas 'mendaraskan' syair itu (sisi verbalisme semata), tetapi juga menginternalisasikan pesannya dengan memperlihatkan ciri kebersamaan, persaudaraan, persatuan, kegembiraan dalam bentuk tindakan yang nyata. Mereka hendak memproklamirkan kepada dunia bahwa ekspresi persatuan dan persaudaraan yang sesungguhnya adalah 'suki sama deko lewe dan hang sama nakeng panggang'.


Kita coba 'membedah' lapisan makna dari dua isu kunci dalam fragmen syair klasik di atas. Pertama, 'suki sama deko lewe'. Secara literal, ungkapan itu bisa diterjemahkan sebagai 'pakai secara bersama celana panjang'. Mengapa satu celana panjang harus dipakai secara bersama-sama? Apa maksud dari ungkapan itu? Mungkinkah satu celana panjang dipakai oleh semua anggota kelompok?


Konon, di wilayah hamente Boleng dulu, individu yang memiliki 'celana panjang' bisa dihitung dengan jari. 'Celana panjang' adalah sebuah  harta istimewa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki celana panjang. Boleh dibilang 'celana panjang' bisa menjadi simbol status dan prestise sosial.


Tetapi, menariknya adalah 'harta spesial' itu tidak membuat yang bersangkutan 'menjaga jarak' dan merasa besar dari yang lain. Justru dalam dan melalui celana panjang itu 'kebersamaan' dan kekompakkan diperlihatkan secara nyata. Jika dalam kampung itu, hanya ada satu celana panjang, maka hampir pasti celana yang satu dan sama itu akan dipakai oleh semua sahabat di kampung itu. 


Kebiasaan (budaya) memakai celana panjang secara bersama-sama itu diabadikan dalam bentuk 'goe't' (sastra lisan) untuk memberikan edukasi moral soal solidaritas atau berbagi rasa di antara sesama anggota komunitas. Bahwasannya sebagai sebuah komunitas maka hendaknya perilaku kita harus kompak dan solid yang disimbolkan dengan 'tindakan memakai celana panjang secara bersama-sama'.


Kedua, 'hang sama nakeng panggang'. Bahasa Manggarai dialek Boleng yang tersirat dalam ungkapan itu berarti 'makan secara bersama ikan panggang'. Mengapa satu ikan panggang mesti dimakan secara bersama-sama? Apakah satu ikan panggang bisa memuaskan seluruh warga kampung? Apa sebetulnya nilai moral yang hendak diwartakan dalam ungkapan itu?


Menurut 'kisah kakek-nenek', di wilayah hamente Boleng dahulu ada kebiasaan 'panggang ikan' di halaman kampung. Kebiasaan itu mereka praktikkan setelah pulang 'ngeti/ela' (tangkap ikan secara manual pada malam hari). Ada pembagian tugas yang jelas di sini. Sebagian pergi 'negeti/ela' dan sebagiannya lagi menyalakan api dan menyiapkan perlengkapan untuk panggang ikan hasil 'ela' tersebut. 


Tentu, bukan soal berapa banyak hasil tangkapan yang diutamakan dalam tradisi itu. Tetapi, kepastian bahwa semua warga terlibat dan merasakan 'nikmatnya' makan ikan panggang secara bersama-sama itu.  Meski hasil tangkapan hanya 'satu ekor', semua anggota komunitas harus mendapat bagian atau merasakan enaknya ikan yang dipanggang di halaman kampung itu.


Zaman sudah berubah. Peradaban kita mengalami kemajuan yang signifikan. Narasi budaya yang dihayati dan dituturkan para leluhur, banyak yang sudah luntur. Kebiasaan memakai celana panjang dan makan ikan panggang secara bersama, hampir pasti tidak ditemukan lagi saat ini. Demikian halnya syair lagu sederhana (suki sama deko lewe hang sama nakeng panggang) yang biasanya didendangkan para bocah saat bermain di halaman kampung, mungkin sudah tidak terdengar lagi.


Kendati demikian, pesan moral dan edukatif di balik 'go'et' dan tradisi kuno orang Boleng itu, tetap relevan dan aktual sepanjang zaman. Benar bahwa kita tidak lagi mengikuti atau meneruskan apa yang dibuat para leluhur itu, tetapi kita bisa menerjemahkan secara baru nilai moral di balik 'nasihat' itu.  


Rasanya, satu celana panjang tidak mungkin lagi dipakai secara bersama, tetapi masih ada benda atau harta lain yang bisa kita 'bagikan/berikan' kepada sesama. Poinnya adalah kita memberi/membagi dari apa yang kita punya agar yang lain bisa merasakan apa yang kita rasakan juga. Kepedulian dan aksi bela rasa kepada sesama, tetap menjadi kebajikan utama dalam hidup ini.




*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

0 Komentar