Oleh: Sil Joni*
![]() |
Benih (Gagasan) Itu Berbuah Lebat (Sekilas 'Kisah Kelahiran Loyola') (foto ist.) |
SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo (selanjutnya disebut Loyola saja) yang pada tanggal 29 Juli 2023 ini, akan merayakan pesta Pancawindu (usia 40 tahun) tidak langsung 'tenar' seperti sekarang ini, tanpa melewati lika-liku dalam kisah kelahirannya. Sama seperti lembaga lainnya di dunia ini, Loyola pasti bermula dari 'titik awal' yang menarik untuk dinarasikan.
Tulisan ini, tidak berpretensi untuk 'menulis sejarah berdirinya Loyola secara kronologis', tetapi sekadar 'menangkap' aneka cerita dari 'orang Labuan Bajo' yang kebetulan pernah sekolah di Loyola dan menjadi 'saksi' perihal perjuangan para perintis dalam 'melahirkan bayi Loyola' itu. Mereka itu adalah Fery Sdu, Flori Nabu dan Albertus Elson. Apa yang tersaji di sini, sebetulnya hasil 'tangkapan' saya terhadap cerita yang keluar dari mulut mereka. Sementara itu, terkait proyek penulisan 'buku kenangan sekaligus sejarah Loyola' secara komprehensif, saya dengar, panitia Pancawindu sudah membentuk tim khusus.
Sampai awal 1980-an, anak-anak kawasan Barat Nusa Bunga yang ingin melanjutkan studi ke jenjang SMA, 'harus pontang-panting', berjalan kaki menuju kota dingin Ruteng. Untuk menggapai mimpi, mereka mesti 'menderita' sebab harus melewati gunung, lembah, ngarai dan kadang sabana hanya dengan 'kaki telanjang'.
Padahal, pertumbuhan penduduk di wilayah Barat termasuk Labuan Bajo relatif tinggi. Spirit warga untuk menyekolahkan anak-anak juga, termasuk lumayan. Lalu, apakah 'semangat semacam itu' harus tenggelam hanya karena lokasi sekolah yang teramat jauh (untuk ukuran kala itu)?
Tabir sejarah persekolahan di Manggarai Barat khususnya tingkat SMA mulai tersingkap tahun 1980-an. Sekelompok tokoh awam Katolik di Labuan Bajo, mengambil prakarsa untuk mendirikan SMA pertama di kota itu. Inisiatif itu termanifestasi melalui pendirian Yayasan Pendidikan Katolik Labuan Bajo (Yapenkatila). Salah satu agenda utamanya adalah mendirikan SMA bernafaskan kekatolikan di Labuan Bajo yang secara resmi beroperasi pada tahun 1983.
Dikisahkan bahwa bapak Paulus Musa menjadi ketua dan bapak Yosep Andi Adu sebagai wakil ketua Yayasan. Selain dua figur ini, masih ada sejumlah sosok yang tidak bisa diabaikan peran mereka. Mereka itu antara lain; bapak Simon Selman, Theodorus Urus, Anton Hantam, Dalu (tu'a Golo) Nggorang dan lain-lain.
Entah bagaimana ceritanya, para tokoh ini bersepakat untuk menjadika St. Ignatius Loyola sebagai 'pelindung' dan nama sekolah. Tentu, sangat menarik untuk melacak 'perbincangan awal' soal nama pelindung sekolah tersebut. Apa yang mengilhami mereka untuk 'memakai' nama orang kudus itu?
Terlepas dari cerita itu, hati nurani mereka tergerak untuk 'mengakhiri' rantai derita generasi ujung Barat Pulau Flores, yang coba 'menata masa depan' melalui jalur pendidikan di kota Ruteng dan kota-kota lain yang relatif lebih maju dalam urusan pendirian sekolah setingkat SMA.
Juli 1983 boleh dibilang sebagai 'hari bersejarah' bagi warga Labuan Bajo khususnya dan Manggarai bagian Barat umumnya. Pasalnya, pada bulan itu, untuk pertama kali aktivitas belajar mengajar (KBM) mulai dilaksanakan. Informasi yang saya dapat dari Fery Adu dan diluruskan oleh Yohanes Hani bahwa Kantor SDK Wae Medu dijadikan 'ruang KBM pertama'.
Kemudian, tak lama berselang, kegiatan KBM pindah ke kantor Desa Wae Kelambu yang terletak di pertokoan depan Polres Mabar sekarang. Selanjutnya, demikian Yohanes Hani, sebagian siswa mengikuti KBM di gedung SMPK St. Ignatius Loyola dan sebagian lagi di samping gereja paroki Roh Kudus Labuan Bajo. Setelah itu, kegiatan KBM diadakan di lokasi SMAK yang sekarang ini. Angkatan pertama hanya mengikuti KBM di gedung baru ini selama 3 bulan menjelang ujian akhir.
Siswa angkatan pertama menurut informasi yang saya peroleh dari Yohanes Hani, salah satu siswa angkatan pertama itu dan yang sekarang sebagai Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan Mabar, berjumlah 24 orang. Kepala sekolahnya adalah Alm. Bapak Yosep Jaman. Sedangkan para guru yang mengabdi pada semester pertama itu adalah Usman Ganggang, Ben Teluma, Yosep Jaman dan Simon Selman. Pak Marsel Mansen, Theodorus Noka dan Arnoldus Jaok masuk setelah 6 bulan KBM berjalan.
Meski dengan sarana dan prasarana yang terbatas, secara umum aktivitas pembelajaran di Loyola muda itu, berjalan normal sampa ke fase di mana pengelolaan sekolah itu diserahkan ke Serikat Sabda Allah (SVD) sekitar tahun 1985. Benih gagasan tentang pendirian SMA itu berhasil ditanam dan bertumbuh subur serta menghasilkan buah yang lebat saat ini.
Jadi, yang berperan pada awal mula kelahiran Loyola itu, bukan anggota SVD Provinsi Ruteng, tetapi para tokoh awam Katolik di kota Labuan Bajo. Saya pikir, sejarah kelahiran ini penting diangkat agar kita tidak terbuai dengan nama besar SVD dan mengabaikan peran awam ini. Benar bahwa di tangan SVD, Loyola semakin berkibar dan menjelma sebagai salah satu sekolah top di Flores sampai saat ini.
Tetapi, sebetulnya SVD hanya merawat dengan memberi pupuk spiritualitas baru terhadap 'benih gagasan dan tindakan' dari sekelompok awam itu, yang sudah mulai bertumbuh saat itu. SVD hanya melanjutkan 'proyek besar' yang sudah dirintis oleh sejumlah awam Katolik itu.
Kini, benih yang ditabur 40 tahun lalu itu, telah menjadi pohon pendidikan yang tak pernah henti memproduksi buah yang berlimpah dan berkualitas. Ribuan alumni, baik yang mengabdi di jalur panggilan khusus (klerus, rohaniwan) maupun yang berkiprah sebagai kader awam yang tangguh dan bermutu, sudah berkarya mulai dari level lokal hingga panggung internasional.
Pancawindu, hemat saya, selain kita mensyukuri perjalanan lembaga selama 40 tahun, juga sebagai momen 'retrospeksi' mengenang kembali perjuangan para perintis Loyola kala itu. Kenangan itu mesti mendorong kita untuk memberikan semacam 'penghargaan dan penghormatan khusus' kepada semua yang telah berjasa dalam meletakan pondasi yang kokoh bagi derap hidup Loyola di tengah arus zaman yang terus berubah.
Karena itu, kalau dapat, konsep acara yang dikemas dalam Pancawindu itu, disisipi dengan 'ritual adat' penghormatan terhadap para pejuang yang sudah 'mendahului' kita. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah kita menyadap energi positif para pendahulu itu untuk dihidupkan. secara kreatif dalam konteks kekinian melalui momen refleksi atau sharing bersama untuk sama-sama berproyeksi hendak di bawah ke mana Loyola ke depannya.
*Penulis adalah alumni SMAK St. Ignatius Loyola. Tamat tahun 1999.
0 Komentar